anda tidak perlu marah-marah saat mengetahui nomor kursi Anda ternyata sudah diduduki oleh penumpang lain. Siapa tahu nasib Anda akan terangkat dengan dipersilakannya Anda pindah tempat duduk ke kelas bisnis.
Bagi saya yang bukan jenis pebisnis, ikut penerbangan kelas ekonomi adalah bagaikan by default. Pertama kali saya terbang dengan kelas bisnis adalah karena sebab di atas. Itu saya alami saat terbang dengan pesawat Garuda dengan rute Balikpapan - Jakarta. Ketika ditemukan nomor kursi saya sudah diduduki oleh penumpang lain, tak perlu waktu lama dengan ramah sang pramugari mempersilakan saya pindah ke kelas bisnis, tentu saja dilayani dengan menu dan kualitas kelas bisnis. Enak juga, tiket harga ekonomi tapi menikmati kelas bisnis.
Hal yang sama saya pikir akan saya alami lagi saat menumpang kelas ekonomi di pesawat Air France rute Singapura - Paris. Saya berpikiran seperti itu karena seorang pramugari datang menghampiri tempat duduk saya sambil di belakangnya diikuti oleh seorang penumpang yang berwajah masam. Eh…ternyata saya hanya ge-er, bukan saya yang nomor kursinya bermasalah tapi teman saya yang kursinya di barisan depan saya. Hanya sayangnya, teman saya tidak cukup pede seperti saya, akhirnya si bule berwajah masamlah yang mendapat rejeki itu. Memang nasib orang Indonesia, selalu mengalah padahal sudah dirugikan, saat diberi kompensasi malahan menolak dengan alasan kesopanan yang tidak perlu he…he…
Saya sangat merasa tersanjung saat perusahaan memberikan saya kelas bisnis sejak penerbangan dari Balikpapan saat dikirim untuk melakukan sebuah tugas di Dallas - Texas. Itu pun saya masih menganggap kelas bisnis nggak ada istimewanya, wajar kalau mendapatkan service yang lebih bagus wong tiketnya juga sangat mahal. Saya baru sadar betapa istimewanya kelas bisnis saat saya sudah sampai di Texas. Kolega-kolega di Texas menganggap jabatan saya sudah sedemikian tinggi saat mengetahui kalau saya naik kelas bisnis, padahal saya ini hanya insinyur rendahan. Karena itulah mereka sangat menghormati saya (bukan karena sayanya, tapi karena saya naik kelas bisnis he…he…). Bagi mereka (katanya) naik kelas bisnis itu ibarat mimpi. Hanya sekelas direktur dan presiden direktur yang diijinkan untuk menikmati dalam sebuah perjalanan bisnis. Saya membuktikannya saat saya pulang nanti.
Sebenarnya banyak orang menyuruh saya menumpang Singapore Airlines ketimbang American Airlines saat pergi ke Texas, alasannya pelayanannya jauh lebih baik. Tapi nggak tahu kenapa akhirnya saya tetap memilih American Airlines, alasan saya biar nggak repot harus pindah-pindah ke pesawat rute domestik saat di Amerika Serikat.
Melanjutkan pengalaman di kabin kelas bisnis American Airlines. Saya baru sadar bahwa budaya di Amerika memang agak kaku dan penuh perhitungan. Semua bentuk pelayanan dibuat menjadi ringkas, efisien dan tidak memerlukan banyak tenaga. Bahkan kabin kelas bisnis juga dibuat tidak terlalu berbeda jauh dengan kelas bisnis, karena jarak antar kursi tidak terlalu jauh bahkan cenderung lebih rapat dibandingkan maskapai lain semacang Singapore Airlines. Saya juga menyaksikan satu kejadian dimana ada penumpang kelas ekonomi yang mungkin ingin sekedar jalan-jalan untuk meluruskan kaki yang pegal, saat dia masuk ke kelas bisnis langsung diusir oleh awak kabin kelas bisnis. Diusir bukan ala Indonesia dimana sang penumpang dikasih tahu dengan baik-baik, tapi benar-benar diusir dalam arti yang sebenarnya. Mungkin memang niatnya baik untuk menjaga privasi para penumpang kelas bisnis, tapi caranya itu lho..he…he…
Sama dengan maskapai lain di rute panjang seperti ini, di America Airline Anda akan mendapatkan 1 tas kecil berisi sisir, sumbat telinga, tutup mata, odol dan sikat gigi. Tapi Anda harus hati-hati dengan ear-set. Ear set ini tidak boleh Anda bawa pulang, saat pesawat mendarat harus dikembalikan ke pramugari. Kalau hilang Anda akan kena denda yang lumayan mahal. Suatu kali saya melihat ada pramugari yang menakut-nakuti penumpang yang akan turun di Tokyo, karena ear-set nya tidak ditemukan, entah di mana. Saya melihat bagaimana penumpang Jepang itu kebingungan harus mencari ear set-nya di bawah pengawasan mata galak sang pramugari.
Bagi saya hal seperti itu agak aneh untuk sebuah maskapai sekelas American Airlines. Padahal kalau saya bandingkan dengan kelas ekonomi Air France saat rute Singapura - Paris, semua fasilitasnya gratis dan bisa dibawa pulang, termasuk ear-set.
Saat saya pulang saya juga menggunakan American Airlines rute Dallas - Tokyo. Semuanya masih tetap sama, tidak ada pramugari yang muda, semuanya tua-tua. Benar kata kolega saya di Texas bahwa hanya pejabat tinggi perusahaan saja yang biasanya menumpang kelas bisnis kalau sedang dalam perjalanan bisnis. Saya membuktikannya sendiri karena penumpang di sebelah saya adalah pimpinan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang peroketan. Saya mengintip saat dia membuka laptopnya….ternyata dia akan memberikan presentasi tentang proyek peluncuran roket di depat pejabat pemerintah Jepang.
Berbeda pengalaman saat menumpang kelas bisnis Japan Airlines rute Tokyo - Singapura. Anda kembali dilayani dengan keramahan khas Asia. Bahkan yang menjadi kejutan bagi saya, sang pramugari di kabin bisnis sudah mengenal nama saya. Sejak saya masuk, dia sudah menyapa saya dengan nama saya dan memperkenalkan dirinya sebagai pramugari yang akan khusus melayani saya sepanjang penerbangan jauh ini. Dan memang benar, saya benar-benar dilayani dengan profesional ala Asia selama penerbangan itu.
Dari pengalaman di atas, saya kadang berpikir Garuda Indonesia nggak usahlah bersaing dengan Singapore Airlines, cukup bersaing dengan American Airlines saja saya yakin Garuda Indonesia akan menang kalau pelayanannya bisa dipertahankan. Tapi nggak tahu kenapa Garuda kebanggaan kita ini kok begini-begini saja ya ?
Bagi saya yang bukan jenis pebisnis, ikut penerbangan kelas ekonomi adalah bagaikan by default. Pertama kali saya terbang dengan kelas bisnis adalah karena sebab di atas. Itu saya alami saat terbang dengan pesawat Garuda dengan rute Balikpapan - Jakarta. Ketika ditemukan nomor kursi saya sudah diduduki oleh penumpang lain, tak perlu waktu lama dengan ramah sang pramugari mempersilakan saya pindah ke kelas bisnis, tentu saja dilayani dengan menu dan kualitas kelas bisnis. Enak juga, tiket harga ekonomi tapi menikmati kelas bisnis.
Hal yang sama saya pikir akan saya alami lagi saat menumpang kelas ekonomi di pesawat Air France rute Singapura - Paris. Saya berpikiran seperti itu karena seorang pramugari datang menghampiri tempat duduk saya sambil di belakangnya diikuti oleh seorang penumpang yang berwajah masam. Eh…ternyata saya hanya ge-er, bukan saya yang nomor kursinya bermasalah tapi teman saya yang kursinya di barisan depan saya. Hanya sayangnya, teman saya tidak cukup pede seperti saya, akhirnya si bule berwajah masamlah yang mendapat rejeki itu. Memang nasib orang Indonesia, selalu mengalah padahal sudah dirugikan, saat diberi kompensasi malahan menolak dengan alasan kesopanan yang tidak perlu he…he…
Saya sangat merasa tersanjung saat perusahaan memberikan saya kelas bisnis sejak penerbangan dari Balikpapan saat dikirim untuk melakukan sebuah tugas di Dallas - Texas. Itu pun saya masih menganggap kelas bisnis nggak ada istimewanya, wajar kalau mendapatkan service yang lebih bagus wong tiketnya juga sangat mahal. Saya baru sadar betapa istimewanya kelas bisnis saat saya sudah sampai di Texas. Kolega-kolega di Texas menganggap jabatan saya sudah sedemikian tinggi saat mengetahui kalau saya naik kelas bisnis, padahal saya ini hanya insinyur rendahan. Karena itulah mereka sangat menghormati saya (bukan karena sayanya, tapi karena saya naik kelas bisnis he…he…). Bagi mereka (katanya) naik kelas bisnis itu ibarat mimpi. Hanya sekelas direktur dan presiden direktur yang diijinkan untuk menikmati dalam sebuah perjalanan bisnis. Saya membuktikannya saat saya pulang nanti.
Sebenarnya banyak orang menyuruh saya menumpang Singapore Airlines ketimbang American Airlines saat pergi ke Texas, alasannya pelayanannya jauh lebih baik. Tapi nggak tahu kenapa akhirnya saya tetap memilih American Airlines, alasan saya biar nggak repot harus pindah-pindah ke pesawat rute domestik saat di Amerika Serikat.
Melanjutkan pengalaman di kabin kelas bisnis American Airlines. Saya baru sadar bahwa budaya di Amerika memang agak kaku dan penuh perhitungan. Semua bentuk pelayanan dibuat menjadi ringkas, efisien dan tidak memerlukan banyak tenaga. Bahkan kabin kelas bisnis juga dibuat tidak terlalu berbeda jauh dengan kelas bisnis, karena jarak antar kursi tidak terlalu jauh bahkan cenderung lebih rapat dibandingkan maskapai lain semacang Singapore Airlines. Saya juga menyaksikan satu kejadian dimana ada penumpang kelas ekonomi yang mungkin ingin sekedar jalan-jalan untuk meluruskan kaki yang pegal, saat dia masuk ke kelas bisnis langsung diusir oleh awak kabin kelas bisnis. Diusir bukan ala Indonesia dimana sang penumpang dikasih tahu dengan baik-baik, tapi benar-benar diusir dalam arti yang sebenarnya. Mungkin memang niatnya baik untuk menjaga privasi para penumpang kelas bisnis, tapi caranya itu lho..he…he…
Sama dengan maskapai lain di rute panjang seperti ini, di America Airline Anda akan mendapatkan 1 tas kecil berisi sisir, sumbat telinga, tutup mata, odol dan sikat gigi. Tapi Anda harus hati-hati dengan ear-set. Ear set ini tidak boleh Anda bawa pulang, saat pesawat mendarat harus dikembalikan ke pramugari. Kalau hilang Anda akan kena denda yang lumayan mahal. Suatu kali saya melihat ada pramugari yang menakut-nakuti penumpang yang akan turun di Tokyo, karena ear-set nya tidak ditemukan, entah di mana. Saya melihat bagaimana penumpang Jepang itu kebingungan harus mencari ear set-nya di bawah pengawasan mata galak sang pramugari.
Bagi saya hal seperti itu agak aneh untuk sebuah maskapai sekelas American Airlines. Padahal kalau saya bandingkan dengan kelas ekonomi Air France saat rute Singapura - Paris, semua fasilitasnya gratis dan bisa dibawa pulang, termasuk ear-set.
Saat saya pulang saya juga menggunakan American Airlines rute Dallas - Tokyo. Semuanya masih tetap sama, tidak ada pramugari yang muda, semuanya tua-tua. Benar kata kolega saya di Texas bahwa hanya pejabat tinggi perusahaan saja yang biasanya menumpang kelas bisnis kalau sedang dalam perjalanan bisnis. Saya membuktikannya sendiri karena penumpang di sebelah saya adalah pimpinan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang peroketan. Saya mengintip saat dia membuka laptopnya….ternyata dia akan memberikan presentasi tentang proyek peluncuran roket di depat pejabat pemerintah Jepang.
Berbeda pengalaman saat menumpang kelas bisnis Japan Airlines rute Tokyo - Singapura. Anda kembali dilayani dengan keramahan khas Asia. Bahkan yang menjadi kejutan bagi saya, sang pramugari di kabin bisnis sudah mengenal nama saya. Sejak saya masuk, dia sudah menyapa saya dengan nama saya dan memperkenalkan dirinya sebagai pramugari yang akan khusus melayani saya sepanjang penerbangan jauh ini. Dan memang benar, saya benar-benar dilayani dengan profesional ala Asia selama penerbangan itu.
Dari pengalaman di atas, saya kadang berpikir Garuda Indonesia nggak usahlah bersaing dengan Singapore Airlines, cukup bersaing dengan American Airlines saja saya yakin Garuda Indonesia akan menang kalau pelayanannya bisa dipertahankan. Tapi nggak tahu kenapa Garuda kebanggaan kita ini kok begini-begini saja ya ?
(Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 17 Oct 2009)
0 comments:
Post a Comment